Oleh: Bukhari
PADA Tanggal 9-22 April 2013 lalu, partai politik peserta pemilu harus mendaftarkan semua calonanggota legislatif (caleg), baik untuk anggota DPR RI, DPR provinsi atau DPRK. Semua perlengkapan yang telah diatur dalam undang-undang harus dipersiapkan oleh parpol yang lolos seleksi peserta pemilu 2014.
Dilema pun terjadi dalam tahapan pendaftaran ini. Keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen menjadi sebuah perdebatan serius di kalangan politisi, dan parol sepertinya dalam kondisi anomali.
Padahal, jelas dalam Pasal 58 Ayat 1 UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: KPU melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan. UU merupakan produk DPR-RI, tempat mereka yang merumuskan kebijakan untuk diterapkan di seluruh Indonesia.
Semangat UU tersebut dipertegas dalam PKPU No. 7/2013 tentang pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota, KPU membantu menjabarkan UU tersebut.
Kedua aturan tersebut membuka ruang bagi kaum hawa untuk masuk ke ranah publik (politik).Tujuannya, untuk memperkuat kebijakan yang menyangkut nasib perempuan Indonesia dalam tataran yang lebih luas.
Pemberian ruang politik bagi perempuan sudah sepantasnya Karena .jumlah perempuan di Indonesia118.010.413 jiwa, sedangkan laki 119.630.913 jiwa, atau selisih 0,68% saja (BPS, 2010). Dengan keterwakilan dalam politik, diharapkan perempuan lebih mampu berekspresi dalam berbagai ranah di kemudian hari.
Banyak persoalan perempuaan tidak tercover pada publik, seperti pemerkosaan, pelecehan, kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain sebagainya masih menjadi potret suram perempuan Indonesia.
Kasus terhadap perempuan menurut data Komnas Perempuan 1998-2010, perbandingan jumlah kekerasan seksual dan non-seksual berdasarkan ranah diantaranya; Pertama, non-seksual 306.979 kasus; Kedua, seksual 93.960 kasus; Ketiga, personal 70.115 kasus; Keempat, publik 22.284 kasus;Kelima, negara 1.561 kasus.
Dengan adanya elite politik perempuan di parlemen, persoalan pemenuhan hak-hak kaum perempuan itu bisa diperjuangkan. Perempuan bisa mengadukan masalah-masalahnya kepada elite politik perempuan di parlemen. Penulis mengapresiasi DPR-RI dan KPU. KPU perlu mempertegaskan potret UU yang sudah disahkan oleh DPR.
Persolan mengganjal
Kondisi politik juga membuat keterwakilan perempuan dalam politik melemah. Aspek internal dan eksternal parpol bisa dikatakan memperburuk semangat partispasi perempuan untuk maju menjadicaleg.
Aspek internal, seperti lemahnya pendidikan pengkaderan. Ini terbukti pada Pemilu 2009 lalu.Persoalan perempuan yang masuk kedalam ranah politik sangat sempit. Kemudian tranparansi anggaran juga menjadi masalah; lemahnya dukungan dana pribadi untuk akan menjadi dampak negatif bagi parpol tersebut .
Dilihat pada kondisi eksternal juga menjadi kendala dalam menjalankan parpol yang sehat. Masalah pertama adalah sigma bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin; perempuan belum loyal terhadap perempuan; tersandungnya elite politik perempuan dalam kasus korupsi. Contoh perempuang yang terlibat korupsi: Artalyta Suryani alias Ayin, Mindo Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, Neneng Sri Wahyuni, Nunun Nurbaetie, Miranda Swaray Goeltom.
Yakin atau tidak,elektabilitas sebuah parpol akan menurun disebabkan kadermelawan ketentuan hukum. Money politik sering terjadi dalam kampaye.Dengan uang Rp 100.000, masyarakat rela mendengar orasi politik caleg di terik matahari.
Mestinya parpol mampu menjalankan fungsinya dengan baik; seperti diungkapkan Gabriel A. Almond, bahwa melakukan sosialisasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik. Itu belum dijalankan olehparpol.
Sudah saatnya perempuan memilih perempuan. Perempuan juga menjadi pemimpin, dalam konteks bukan jadi imam shalat atau pembaca khutbah jumat, tetapi bagaimana ketidak-adilan bagi perempuan bisa diperjuangkan oleh politikus perempuan di parlemen.
Kita bisa dan harus berkomitmen menghapus stigma awam yang menganggap perempan tidak bolehmenjadi pemimpin. Tengoklah srikandi-srikandi Aceh tempo dulu, misalnya Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Ratu Safiatuddin, dan lain-lain –mereka adalah pahlawan Aceh yang gagah berani dengan tegas mengusir imperialisme penjajah Belanda, Portugis, dan Jepang dari Aceh. Mereka perlu dijadikan tolok ukur bagi perempuan dimasa sekarang. []
Penulis: Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (Unima) Lhokseumawe; Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) angkatan III.
Labels:
Opinion
Thanks for reading Ruang Politik Perempuan. Please share...!
0 Comment for "Ruang Politik Perempuan"