Sumber informasi tentang isu sosial, budaya dan politik dari Aceh untuk dunia

Moral dan Kurikulum Pendidikan

Bicara pendidikan, berarti bicara persiapan generasi masa depan. Mungkin ini memang terdengar klise, tapi hanya dengan cara ini kita memeradapkan bangsa ini.  Sampai ada pernyataan bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan pemegang tahta negara yang berkualitas dan berkuantitas.

Menjadi pemegang tahta negara, tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Banyak tanggungjawab yang harus dipikul, persiapan yang matang, serta proses yang harus dihargai. Pemegang tahta tidak lahir serta-merta, tapi perlu dipersiapkan sejak awal. Dan itu semua berada di bawah kendali pendidikan.

Menyorot Sistem Pendidikan

Namun dalam proses menyiapkan generasi penerus bangsa tersebut, banyak hal yang masih harus dikoreksi. Tentang sistem dan cara pandang kita melihat pendidikan. Ada beberapa hal yang harus digarisbawahi tentang sistem pendidikan yang hanya berpatokan pada kurikulum dalam proses belajar-mengajar. Fakta pertama, pola belajar saat ini berbeda dengan sistem belajar beberapa tahun silam. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kualitas moral peserta didik sudah berbalik arah dibandingkan dengan 20 atau 30 tahun silam. Berkurangnya moral dapat dilihat dari segi menurunnya rasa saling menghargai antara orangtua, guru, maupun sesama siswa.

Terkait hal tersebut, sistem kurikulum pendidikan saat ini dinilai ikut berkontribusi menyumbangkan kemerosotan moral tersebut. Kini kurikulum pendidikan Indonesia, termasuk Aceh, lebih mementingkan nilai kognitif (kecerdasan) daripada nilai moral, etika dan akhlak siswa yang kian hari semakin terpasung pada sisi negatif. Karena kenyataannya pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia lebih menjadi prioritas kurikulum dari pada pelajaran Agama, hadits, Imtaq, Budi Pekerti dan sebagainya. Sehingga tanpa disadari peserta didik semakin menentang dengan apa yang disampaikan oleh gurunya, meskipun yang disampaikan benar.

Sedikit saya gambarkan perbandingannya. Pelajaran Agama hanya diajarkan dua jam (90 menit) per-minggunya, sementara Matematika dan matapelajaran eksakta lainnya medapat porsi 6­-8 jam per-minggunya. Hal tersebut tentu akan memunculkan argumentasi bahwa pelajaran eksakta itu jauh lebih penting dari pada pelajaran Agama atau Sosial.  Belum lagi banyak siswa yang merasa minder jika duduk di kelas IPS. Lain halnya di kelas IPA, siswa yang masuk dalam kategori ini menganggap dirinya jauh lebih unggul daripada siswa IPS.
Nah, untuk konteks Aceh, kurikulum pendidikan yang dibuat oleh negara, tidak selamanya harus diikuti jika itu tidak sejalan dengan pandangan hidup kita. Tujuan negara menerapkan kurikulum seperti itu karena ingin menciptakan generasi yang berkualitas. Namun kembali lagi, kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dari ia menguasai semua ilmu eksakta, tapi juga dilihat dari moral yang menyertainya. Aceh akan mampu melahirkan pemimpin yang berpontensi, namun tidak perlu terlepas dari ajaran Islam. Detailnya kita akan mampu mensugestikan leadershipberbasis Islam.

Fakta kedua, tenaga pendidik dinilai belum cukup profesional dalam mengemban tugas. Di Aceh misalnya, banyak guru hanya men-copypaste isi buku untuk dipindahkan ke catatan siswa. Hasilnya, siswa hanya punya buku duplikat ajaran yang telah disalinnya tanpa disertai dengan pemahaman yang baik. Padahal dalam hal ini, tugas seorang guru tentu saja  bukan sekedar mentransfer apa yang ditulis di buku, tapi memberikan nilai ilmu yang hakiki. Maka tidak mengherankan jika hari ini kita melihat  fenomena seorang sarjana Teknik Mesin menjadi guru Matematika, Fisika, Agama, PPKN, dan bahkan Olahranga. Ketika bekerja, ia menjadi orang lain.

Perlu Perubahan

Menyikapi hal tersebut, inilah yang harus kita ubah. Jika ingin mempersiapkan generasi masa depan yang lebih baik, seorang guru dituntut harus profesional. Karena mereka punya peran penting untuk mengajar, mendidik, menilai, melatih hingga mengevaluasi siswa agar menjadi lebih baik. Selain itu, Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas inti yaitu tugas pfofesional, tugas manusiawi, serta tugas kemasyarakatan (civic mission) dalam semua aspek.

Namun selain permasalahan sistem pendidikan serta tenaga pendidik yang belum cukup mumpuni, tatanan politik pemerintah dalam menggunakan anggaran pendidikan juga belum bisa disebut baik. Selama ini, dana pendidikan hanya digunakan untuk perangkat keras sekolah, seperti membuat pagar, renovasi bangunan sekolah, membeli peralatan olahraga dan sebagainya. Padahal dana pendidikan harusnya juga digunakan untuk objek softschool (perangkat lunak sekolah), seperti menyelenggarakan kegiatan seminar, pelatihan, bimbingan dan panduan ceramah lainnya yang dapat menunjang pembentukan karakter peserta didik  untuk menjadi lebih bermoral dan beretika.

Dari itu, semua dana pendidikan seharusnya dapat dialokasikan lebih baik dengan memanajemenkan pada standar dan kualitas yang harus diciptakan oleh pemerintah. Jika semua ini berjalan pada alur yang diharapkan, maka bukan tidak mungkin di tahun 2020 atau 2025, generasi yang mempunyai kualitas dan kapasitas internasional akan terlahir di Aceh.
Namun terlepas dari itu semua, pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Tanggungjawab itu tidak hanya dipikulkan ke pundak guru, tapi juga segenap lapisan masyarakat. Dalam hal ini, orangtua juga berperan penting bagi proses persiapan generasi masa depan. Pernyataan oleh orangtua “yang goet keu long, yang broek keu droe neuh” (yang baik untuk saya, dan hal buruk untuk anda) kepada pihak sekolah, juga harus dihapus. Ini menjadi penting mengingat orangtua merupakan orang terdekat siswa.

Kini, wajah pendidikan perlu diubah. Pembangunan tidak hanya digalakkan dari segi fisik semata, tapi juga pembangunan manusia melalui sistem pendidikan yang tepat. Perlu mempertimbangkan nilai moral dalam proses persiapan generasi pemegang tahta negara di masa depan. Kecuali jika kita ingin melihat wajah buruk generasi ke depan yang semakin sulit untuk diselamatkan.


Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Pegiat Komunitas Panteu Menulis Pasee dan anggota KSM-Kreatif Minority.

Sumber : http://www.lintasnasional.com/2015/09/22/moral-dan-kurikulum-pendidikan/
Labels: Opinion

Thanks for reading Moral dan Kurikulum Pendidikan. Please share...!

0 Comment for "Moral dan Kurikulum Pendidikan"

Back To Top