Sumber informasi tentang isu sosial, budaya dan politik dari Aceh untuk dunia

‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil

Muhammad Usman yang lebih di kenal dengan nama Osama.
Foto ini saya ambil di wall Facebook miliknya.
SATU hari menjelang tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 Hijriyah, kita di Aceh dikejutkan dengan pecahnya satu peristiwa yang melukai kerukunan hidup umat beragama di Aceh Singkil. Dikabarkan kondisi mencekam lantaran ada rumah ibadah yaitu satu gereja di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, dibakar (aceh.tribunnews.com, 13/10/2015).
Peristiwa yang juga merenggut satu korban jiwa itu, menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak; baik pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, LSM maupun politisi negeri ini. Kita semua tentu sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dilakukan, apalagi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.

Rumah ibadah, merupakan lambang sebuah agama, dan bagi pemeluknya merupakan hal yang esensial. Baik dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah ibadah merupakan tempat yang selalu dijaga, dirawat dan dibangun bersama. Kasus di Aceh Singkil bukanlah kasus yang pertama yang terjadi di Republik ini. Kita masih ingat hal serupa, misalnya, sebelumnya terjadi di Kabupaten Talikara, Papua, saat Hari Raya Idul Fitri 1436 H lalu (aceh.tribunnews.com, 18/7/2015).

Dua kasus di atas bisa menjadi refleksi bersama terkait kebebesan beragama di Indonesia. Ini merupakan wajah suram demokrasi kita, di mana negara belum mampu sepenuhnya menjamin hak asasi manusia.

Dalam laporan tahunan, The Wahid Institute menunjukkan angka kekerasan dengan motif agama dari tahun ke tahun terus naik, pada 2009 terjadi 121 kasus/peristiwa, 2010 ada 184 kasus, 2011 sebanyak 267 kasus, 2012 terdapat 278 kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014 tercatat sebanyak 154 kasus terjadi.

Dengan data dan fakta tersebut, maka masalah kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi masih belum selesai di negara kita ini. Indonesia yang aman dan jauh dari kekerasan belum terwujud.

Kerangka Madinah

Sejarah umat Islam tempo dulu, di masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw, sudah mengatur dengan baik kerangka kerukunan antar umat bergama. Rasulullah menjadi pemimpin bukan hanya untuk pemeluk Islam semata.

Dalam sejarah Madinah tercatat, bahwa Nabi Muhammad menjadi pemimpin dengan kondisi penduduk yang hetrogen bukan homogen. Setidaknya ada enam golongan kaum pada saat Nabi memimpin Madinah. Pertama, kaum Arab Madinah yang mememuluk Islam yang disebut kaum Anshar; Kedua, orang-orang Arab Mekkah yang muslim yang disebut kaum Muhajirin; Ketiga, orang-orang Arab Madinah penganut paganisme; Keempat, golongan munafik; Kelima, golongan Yahudi yang terdiri dari berbagai suku: baik bangsa Yahudi maupun orang Arab yang menjadi Yahudi, dan; Keenam, penganut agama Kristen Minoritas (J. Suyuthi Pulungan, 1994:57).

Kondisi hetrogenitas penduduk Madinah pada waktu itu, juga berpengaruh pada cara pandang yang berbeda-beda ditambah lagi kenyakinan berbeda serta adat istiadatnya. Karena perbedaan inilah, kemudian dibutuhkan sebuah tatanan hukum/kesepakat agar terwujud masyarakat yang teratur, tercipta rasa aman, damai, keadilan bagi semua, pengaturan kerja sama untuk menjamin kepentingan bersama serta dibutuhkan pemimpin yang tegas dan berwibawa untuk melaksanakannya. Maka, Nabi Muhammad bisa mempersatukan mereka dalam sebuah perjanjian bersama yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.

Menurut AJ Wensink, Piagam Madinah berisi 47 Pasal yang menyatukan umat yang majemuk pada saat itu. Bila dipejari lebih mendalam, ada 14 prinsip pemerintahan dalam Piagam Madinah: (1) Umat; (2) Persatuan dan persaudaraan; (3) Persamaan; (4) Kebebasan; (5) Hubungan antarpemeluk agama; (6) Pertahanan; (7) Hidup bertetangga; (8) Tolong menolong; (9) Perdamaian; (10) Musyawarah; (11) Keadilan; (12) Pelaksanaan Hukuman; (13) Kepemimpinan; (14) Ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar. Inilah cakupan dari 47 pasal yang terkandung dalam perjanjian antar umat beragama pada masa Rasulullah saw.

Langkah perbaikan
Kerangka Piagam Madinah, perlu dipelajari dan dijadikan patokan dalam pengembangan kerukunan umat bergama di Indonesia. Sejarah Madinah masa lalu tidak dapat dipungkiri sebagai fakta sejarah yang berhasil dalam pengelolaan kemajemukan sebuah komunitas.

Dalam momentum tahun baru 1437 Hijrah ini, sudah sepatutnya kita kembali melihat kepada pola-pola pengaturan yang dibuat oleh Rasulullah Saw di masa lalu, untuk mengujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Berhijrah menuju masyarakat yang madani.

Ke depan, menurut penulis untuk menciptakan kerukunan antarumat bergama di Indonesia diperlukan beberapa hal, di antaranya: Pertama, penganut agama saling menghormati, tidak saling menuding serta memandang ajaran agama lain salah; Kedua, jangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama, baik secara sembunyi maupun secara terang-terangan; Ketiga, mematuhi semua ketentuan hukum dan kesepakatan yang dibuat untuk pengaturan.

Kejadian di Aceh Singkil, bisa dipandang dalam kerangka yang konstruktif untuk perbaikan toleransi ke depan. Bukan saja dipandang dalam pandangan negatif semata. Suasana kerukunan antarumat beragama perlu dibangun dengan bina damai (peace building).

Kita sadar, bahwa kehidupan kita tidak terlepas dari konflik. Bila sudah konflik terjadi maka kita membutuhkan jalan penyelesaian serta pembangunan kerangka masa depan untuk menghindari hal yang sama agar tidak terjadi lagi di masa depan. Semoga!

* Muhammad Usman, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU). Email: usman_aaceh@yahoo.co.id.

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/10/17/piagam-madinah-solusi-konflik-singkil

Moral dan Kurikulum Pendidikan

Moral dan Kurikulum Pendidikan

Bicara pendidikan, berarti bicara persiapan generasi masa depan. Mungkin ini memang terdengar klise, tapi hanya dengan cara ini kita memeradapkan bangsa ini.  Sampai ada pernyataan bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan pemegang tahta negara yang berkualitas dan berkuantitas.

Menjadi pemegang tahta negara, tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Banyak tanggungjawab yang harus dipikul, persiapan yang matang, serta proses yang harus dihargai. Pemegang tahta tidak lahir serta-merta, tapi perlu dipersiapkan sejak awal. Dan itu semua berada di bawah kendali pendidikan.

Menyorot Sistem Pendidikan

Namun dalam proses menyiapkan generasi penerus bangsa tersebut, banyak hal yang masih harus dikoreksi. Tentang sistem dan cara pandang kita melihat pendidikan. Ada beberapa hal yang harus digarisbawahi tentang sistem pendidikan yang hanya berpatokan pada kurikulum dalam proses belajar-mengajar. Fakta pertama, pola belajar saat ini berbeda dengan sistem belajar beberapa tahun silam. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kualitas moral peserta didik sudah berbalik arah dibandingkan dengan 20 atau 30 tahun silam. Berkurangnya moral dapat dilihat dari segi menurunnya rasa saling menghargai antara orangtua, guru, maupun sesama siswa.

Terkait hal tersebut, sistem kurikulum pendidikan saat ini dinilai ikut berkontribusi menyumbangkan kemerosotan moral tersebut. Kini kurikulum pendidikan Indonesia, termasuk Aceh, lebih mementingkan nilai kognitif (kecerdasan) daripada nilai moral, etika dan akhlak siswa yang kian hari semakin terpasung pada sisi negatif. Karena kenyataannya pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia lebih menjadi prioritas kurikulum dari pada pelajaran Agama, hadits, Imtaq, Budi Pekerti dan sebagainya. Sehingga tanpa disadari peserta didik semakin menentang dengan apa yang disampaikan oleh gurunya, meskipun yang disampaikan benar.

Sedikit saya gambarkan perbandingannya. Pelajaran Agama hanya diajarkan dua jam (90 menit) per-minggunya, sementara Matematika dan matapelajaran eksakta lainnya medapat porsi 6­-8 jam per-minggunya. Hal tersebut tentu akan memunculkan argumentasi bahwa pelajaran eksakta itu jauh lebih penting dari pada pelajaran Agama atau Sosial.  Belum lagi banyak siswa yang merasa minder jika duduk di kelas IPS. Lain halnya di kelas IPA, siswa yang masuk dalam kategori ini menganggap dirinya jauh lebih unggul daripada siswa IPS.
Nah, untuk konteks Aceh, kurikulum pendidikan yang dibuat oleh negara, tidak selamanya harus diikuti jika itu tidak sejalan dengan pandangan hidup kita. Tujuan negara menerapkan kurikulum seperti itu karena ingin menciptakan generasi yang berkualitas. Namun kembali lagi, kecerdasan seseorang tidak hanya diukur dari ia menguasai semua ilmu eksakta, tapi juga dilihat dari moral yang menyertainya. Aceh akan mampu melahirkan pemimpin yang berpontensi, namun tidak perlu terlepas dari ajaran Islam. Detailnya kita akan mampu mensugestikan leadershipberbasis Islam.

Fakta kedua, tenaga pendidik dinilai belum cukup profesional dalam mengemban tugas. Di Aceh misalnya, banyak guru hanya men-copypaste isi buku untuk dipindahkan ke catatan siswa. Hasilnya, siswa hanya punya buku duplikat ajaran yang telah disalinnya tanpa disertai dengan pemahaman yang baik. Padahal dalam hal ini, tugas seorang guru tentu saja  bukan sekedar mentransfer apa yang ditulis di buku, tapi memberikan nilai ilmu yang hakiki. Maka tidak mengherankan jika hari ini kita melihat  fenomena seorang sarjana Teknik Mesin menjadi guru Matematika, Fisika, Agama, PPKN, dan bahkan Olahranga. Ketika bekerja, ia menjadi orang lain.

Perlu Perubahan

Menyikapi hal tersebut, inilah yang harus kita ubah. Jika ingin mempersiapkan generasi masa depan yang lebih baik, seorang guru dituntut harus profesional. Karena mereka punya peran penting untuk mengajar, mendidik, menilai, melatih hingga mengevaluasi siswa agar menjadi lebih baik. Selain itu, Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas inti yaitu tugas pfofesional, tugas manusiawi, serta tugas kemasyarakatan (civic mission) dalam semua aspek.

Namun selain permasalahan sistem pendidikan serta tenaga pendidik yang belum cukup mumpuni, tatanan politik pemerintah dalam menggunakan anggaran pendidikan juga belum bisa disebut baik. Selama ini, dana pendidikan hanya digunakan untuk perangkat keras sekolah, seperti membuat pagar, renovasi bangunan sekolah, membeli peralatan olahraga dan sebagainya. Padahal dana pendidikan harusnya juga digunakan untuk objek softschool (perangkat lunak sekolah), seperti menyelenggarakan kegiatan seminar, pelatihan, bimbingan dan panduan ceramah lainnya yang dapat menunjang pembentukan karakter peserta didik  untuk menjadi lebih bermoral dan beretika.

Dari itu, semua dana pendidikan seharusnya dapat dialokasikan lebih baik dengan memanajemenkan pada standar dan kualitas yang harus diciptakan oleh pemerintah. Jika semua ini berjalan pada alur yang diharapkan, maka bukan tidak mungkin di tahun 2020 atau 2025, generasi yang mempunyai kualitas dan kapasitas internasional akan terlahir di Aceh.
Namun terlepas dari itu semua, pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Tanggungjawab itu tidak hanya dipikulkan ke pundak guru, tapi juga segenap lapisan masyarakat. Dalam hal ini, orangtua juga berperan penting bagi proses persiapan generasi masa depan. Pernyataan oleh orangtua “yang goet keu long, yang broek keu droe neuh” (yang baik untuk saya, dan hal buruk untuk anda) kepada pihak sekolah, juga harus dihapus. Ini menjadi penting mengingat orangtua merupakan orang terdekat siswa.

Kini, wajah pendidikan perlu diubah. Pembangunan tidak hanya digalakkan dari segi fisik semata, tapi juga pembangunan manusia melalui sistem pendidikan yang tepat. Perlu mempertimbangkan nilai moral dalam proses persiapan generasi pemegang tahta negara di masa depan. Kecuali jika kita ingin melihat wajah buruk generasi ke depan yang semakin sulit untuk diselamatkan.


Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Pegiat Komunitas Panteu Menulis Pasee dan anggota KSM-Kreatif Minority.

Sumber : http://www.lintasnasional.com/2015/09/22/moral-dan-kurikulum-pendidikan/

Potret Buruk Gizi Aceh

SUDAH menjadi pengetahuan bersama, setiap tanggal 25 Januari, kita kembali memperingati Hari Gizi. Pertanyaannya: keadaan gizi bagaimanakah yang kita peringati? Sudah sehatkah ia? Atau mungkin di Hari Gizi ini, masih ada yang kekurangan gizi? Lalu apa yang kita peringati? Apakah Hari Sakit? Tanya ini terus digulirkan.

Bicara Gizi
Seiring zaman, definisi Ilmu Gizi terus berkembang.  Ada yang mengartikan sebagai ilmu yang mempelajari proses makanan dari masuk mulut sampai dicerna oleh organ-organ pencernaan. Setelah itu diolah dalam suatu sistem metabolisme  menjadi zat-zat kehidupan  (zat gizi dan zat non gizi), untuk kemudian dialirkan dalam darah dan sel-sel tubuh sehingga membentuk jaringan dan organ-organ tubuh. Dan proses akhirnya menghasilkan  pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (mental), kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat  dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera.

Gizi terbagi dua, yaitu gizi baik dan gizi buruk. Secara pemahaman publik dikatakan bergizi baik, bila individu tersebut tumbuh sehat dalam segala aspek, baik fisik, kognitif (kecerdasan) maupun aspek intelektual. Jika keadaan individu tersebut demikian, maka seseorang itu diyakini akan tumbuh menjadi seorang yang cerdas. Selain itu, gizi sehat ini sangat berperan penting dalam pembentukan jaringan otak bagi anak-anak yang berusia dini. Ia dapat mendukung pembentukan sistem jaringan-jaringan yang efektif bagi bagi anak untuk bisa mengoptimalkan konsep abstrak leadership yang berpotensi memajukan negari ini.

Namun di sisi lain, ada potret wajah buruk gizi Indonesia. Faktor lingkungan berkontribusi besar dalam menyumbang penyakit ini. Kenyataan menunjukkan bahwa kebanyakan yang menderita gizi buruk itu anak-anak dari keluarga yang memprihatinkan, yang ekonominya pas-pasan. Penyakit ini juga kerap bersahabat dengan mereka yang tinggal di bawah kolong jembatan, di pesisir rel kereta api, di persimpangan jalan, ataupun yang tidur di emperan toko yang hanya beralas kardus saja. Penyakit ini mendera mereka yang sehari-harinya hanya bisa makan sehari sekali, ataupun terpaksa makan nasi buangan yang dikaisnya di tong sampah.

Padahal indikator kesehatan dapat digambarkan oleh beberapa aspek berikut, yaitu: umur harapan hidup, kesehatan lingkungan, angka kematian, status gizi, angka kesakitan, perilaku serta ketersediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan yang baik. Ada juga beberapa aspek lainnya yang membutuhkan perhatian, yaitu: penempatan tenaga medis tidak merata, angka harapan hidup yang masih dibawah rata-rata nasional, angka kematian yang meningkat, tingginya angka gizi buruk Indonesia serta cakupan pelayanan kesehatan bayi belum sesuai dengan target restra nasional.  Namun sayang, indikator dan kenyataan yang terjadi, tidaklah berjalan beriringan.

Dari itu saya ingin mengatakan bahwa ilmu gizi itu tidak hanya sebatas berkenaan dengan kesehatan tubuh, tapi juga kesejahteraan publik. Karena asupan gizi juga perlu diberikan di tubuh kesakitan ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup, pendidikan, kesetaraan gender, dan penyakit-penyakit kronis lainnya yang menghambat tumbuh kembangnya pembangunan manusia.

Wajah Buruk Kesehatan
Kini gizi buruk telah menyebar luas di banyak tanah Indonesia, termasuk Aceh. Di Aceh, banyak bayi dan balita yang terkontaminasi dengan gizi buruk dan kurang gizi. Angka Kematian Balita (AKABA) sediri adalah jumlah anak yang meninggal sebelum mencapai usia lima tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2012, proporsi balita gizi kurang sebesar 16.099 (12,7%). Berdasarkan data UNICEF, kondisi kesehatan anak-anak di Aceh, meningkat dari 38,9%  pada 2011 menjadi 44% pada 2012.

Selain itu, berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh tentang Jumlah Kematian Bayi di Provinsi Aceh selama 2011-2013, yaitu  826 bayi (0-1 tahun) meninggal pada 2011. Jumlah itu menjadi 982 bayi pada 2012 dan 1.241 bayi pada 2013. Sekitar 30 persen bayi meninggal akibat asfiksia (sesak napas), 25 persen karena berat badan lahir rendah, dan 10 persen karena kelainan kongenital. Semua itu sangat dipengaruhi kurangnya gizi saat pertumbuhan janin hingga bayi berusia dua tahun.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, Aceh merupakan provinsi dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang tertinggi ketujuh di Indonesia. Di Aceh, prevalensi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat sekitar 4 persen dari 23 persen pada 2010, menjadi 27 persen pada 2013. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi anak balita gizi buruk dan  gizi kurang secara nasional sebesar 19,6 persen pada 2013. Hal itu jauh dari sasaran Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) sebesar 15,5 persen pada 2015. (Kompas, 29/1/2014)

Merujuk data Profil Kesehatan Aceh tentang status gizi anak balita 2011-2013, jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang meningkat pesat dalam tiga tahun ini. Pada 2011, jumlah anak balita gizi buruk 402 anak, tahun 2012 menjadi 759 anak, dan 2013 menjadi 813 anak. Adapun kasus anak balita gizi kurang tahun 2011 ada 10.261 anak, tahun 2012 ada 19.225 anak, dan tahun 2013 melonjak jadi 56.527 anak. Hal ini menjadi cerminan tingginya angka kemiskinan di Aceh, yakni 17,6 persen pada 2013. Angka kemiskinan rata-rata nasional 11 persen. (Kompas, 29/1/2014)

Banyak cara telah dilakukan untuk menanggulangi gizi buruk ini. Namun kerap gagal karena disebabkan oleh alasan ekonomi yang membuat keluarga tidak sanggup membiayai perawatan tersebut. Kita harus mengakui Indonesia sudah bekerja semampu mungkin untuk menciptakan yang terbaik untuk rakyatnya. Namun kapan perubahan lebih baik itu akan datang, akankah harus menunggu beberapa periode pergantian presiden lagi  atau sampai titik bumi meledak karena panas yang sangat luar biasa dari tekanan dalam dan luarnya. Haruskan masyarakat primitif yang menjadi peran utama dalam kesusahan dan kinerja pemerintah jadi peran utama dalam kesenangan?

Semoga keliruan ini segara terjawab. Semua orang ingin mengibar sayap kesuksesan, namun kesehatan menjadi salah satu sub menu energi dalam menggapainya. Semoga semboyan “bersama kita tumbuh, bercerai kita runtuh” menjadi tombak pembangunan bagi peradaban yang lebih baik.  []

Penulis adalah Nur Hayati, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, aktif di KSM-UKM Creative Minority serta Komunitas Panteu Menulis Pasee, email: nurhayati.relations@gmail.com

Sumber :acehxpress
Potret Hakikat Ibu

Potret Hakikat Ibu

Perempuan dalam perjalanan kehidupan sangat bermakna dan berarti. Allah SWT telah memberikan sebuah hal istimewa kepada kaum perempuan yang tidak bisa dimiliki oleh para laki-laki hingga akhir umur dunia. Perempuan punya kewajiban memberikan aset generasi baru sebagai wadah masa depan bangsa. Meskipun kebaikan dan keburukan seorang anak sangat kebergantungan terhadap didikan orangtua.
Begitu pentingnya peran ibu dalam mempublikasikan anaknya yang berkualitas bagi bangsa. Melalui pembentukan karakter sejak dini, pembentukan moral, etika, dan akhlak. Pembentukan tersebut tidak hanya difokuskan dalam bidang akademis tetapi dalam bidang psikologis hingga spiritual. Penanaman itu sangat penting dilakukan seorang ibu kepada anak-anaknya agar mengerti dan memahami kodrat sebagai manusia.
Oleh sebab itu untuk menciptakan generasi yang berkualitas diperlukan sosok yang pendidik yang berkualitas pula. Maka seharusnya negara memperhatikan prioritas dan memberikan perhatian terhadap perempuan di seluruh pelosok tanah air. Mengigat perannya sangat penting dalam mengantarkan peradaban sebuah bangsa bukan memberi peluang untuk berhijrah ke negeri orang untuk meraih status Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Jika diteliti lebih dalam kita mempunyai permasalahan perempuan yang begitu serius dan sangat komplek. Salah satunya dari segi ekonomi, banyak perempuan dinegari ini yang rela meninggalakan keluarga, sanak saudara dan bahkan negerinya demi mencari nafkah untuk meringankan ekonomi keluarga. Kebanyakan target yang telah mereka persiapkan adalah menjadikan dirinya sebagai TKW. Megapa ada kata “Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam (SDA)” tapi faktanya masih banyak masyarakat negeri ini yang harus mengadu nasib ke negeri orang.
Tanda tanya yang tidak terjawab secara detail bertahun-tahun ini. Padahal dalam Al-Quran Allah telah berfirman, yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagimu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan jaganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali mereka melakukan pekerjaan yang keji yang nyata….”
Perempuan bukan simbol untuk memperalat suatu kegiatan atau hanya citra yang diinginkan oleh orang tersebut. Tapi, perempuan itu sangatlah mulia di sisi Rasullah SAW. Kejadian ketika masa Rasulullah menjadi satu simbol atau fakta terpenting yang harus dicatat oleh dunia. Dimana kala itu ada seorang anak muda bertanya kepada Rasullah SAW: “wahai Rasul siapa yang berhak mendapatkan perlakuan baik dariku? Rasul menjawab: ibumu. Siapa lagi rasul, rasul menjawab: ibumu. Setelah itu siapa lagi Rasul? rasul juga menjawab: ibumu dan kemudian baru Rasul menjawab, bapakmu”.
Dalam hadis ini terkuak dengan jelas peran penting perempuan dalam kehidupan. Rasul menyebut sampai tiga kali dengan sebutan ibu dan pada kali yang keempat baru Rasul menyebut bapakmu. Dengan begitu, bagaimanapun keadaan dan kemampuan seorang perempuan itu tidak menjadi suatu hal yang mempersempit pandangan seseorang terhadapnya. Karena pada hakikat yang fundamental kodrat perempuan itu sangat berpengaruh bagi dunia.
Cintailah Ibu
“Banyak pahlawan dan ilmuwan besar yang lahir di tangan seorang perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mampu mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan”. Sebuah sajak pembangun jiwa yang penulis temukan dalam buku “The Great Women” karangan Muhammad Ali al-Allawi. Sama halnya dengan peringatan Hari Ibu yang merupakan sebuah misi di Indonesian dalam mengenang perjuangan perempuan-perempuan yang juga berperan penting dalam memperjuangkan Indonesia pada masa silam.
Dalam wikipedia disebutkan bahwa asal usul sejarah hari ibu di Indonesia dari bertemunya para tokoh perempuan dengan mengadakan rapat perempuan Indonesia I (pertama), pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung Dalem Jayadipuran yang sekarang dipergunakan sebagai Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai tradisional. Mereka berasal dari berbagai daerah di pelosok Indonesia bertujuan untuk menyatukan ide atau gagasan yang telah lama mereka pertahankan untuk kemerdekaan yang mutlak bagi Indonesia.
Banyak ideologi baru yang telah dikemukan dalam proses tukar pikiran tersebut. salah satunya adalah membentuk perempuan yang dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (kowami). Pada rapat perempuan yang ke III tepat pada tahun 1938, menetapkan 22 Desember sebagai perigatan Hari Ibu dan diputuskan oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor316 Tahun 1959 mengesahkan hari perayaan Nasional hingga kini.
Pasifnya sejarah, anak-anak negeri ini memaknai hari ibu adalah satu hari (sehari) membebaskan ibunya dari pekerjaan fisik yang sering ditekuni oleh seorang ibu, seperti memasak, mencuci, menjaga anak, membersihkan rumah dan lain-lain. Bukan membebaskan itu semua dari ibu kita, tapi beliau tidak sepatutnya melakukan pekerjaan itu semasih kita sebagai anaknya bisa mengantikan perannya dalam hal tersebut. Pola pikir semacam ini harus dimusnahkan. Pemikiran yang sangat minim bagi kita sebagai anak dalam memaknai hari penting bagi sang ibu.
Dalam Islam telah dipaparkan, ridha Allah karena ridha orangtua. Orangtua itu diberikan kasih sayang, diperhatikannya serta ditaati semua perintahnya. Sesungguhnya senyum ibu itu energi bagi kita “mother’s is our life”.
Dalam Al-Quran Surat Lukman ayat 14-15 dan Surah Al-Israa’ ayat 23-24 yang dapat kita jadikan pedoman dalam membahagiakan ibu. Pertama, perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dengan sebaik-baiknya.Kedua, kewajiban untuk merawat dan mengurus orang tua. Ketiga, kita mewajibkan perilaku santun dan lembut serta mengeluarkan lisan yang mulia. Keempat, kewajiban untuk merendahkan diri dengan penuh kasih sayang, dan yang terakhir, senantiasa mendoakan mereka dalam suka dan duka.
Jadi hari ibu yang telah kita lewati beberapa hari lalu jangan hanya menjadi simbolisme semata, akan tetapi kita terapkan perintah Allah SWT dalam merangkul kehidupan bersama orangtua. Ungkapan cinta dan kasih sayang sudah sepatutnya kita ucapkan di setiap harinya. Bukan hanya pada hari ibu saja. Di hari-hari yang biasa seperti ini juga kita berikan momen yang indah untuknya. Di hari-hari biasa ini pula kita berikan citra kebahagiaan yang sanggup kita raih untuknya. Bahagia ibu bukan hanya pada hari ibu saja, akan tetapi setiap hari yang beliau lewati perlu kesadaran kita akan keabadian cinta dan kasih sayang kita untuknya karena sepatutnya setiap saat itu momen terindah bila dilewati dengan orangtua. [op]
[Nurhayati, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh dan Santriwati Pasantren Rauzhatul Ulumuddin Islamiah (RUDI), saat ini aktif di KSM Creative Minority]
Sumber : Atjehlink
Tsunami Korupsi

Tsunami Korupsi

Oleh : Bukhari
Beberapa bulan yang lalu, Aceh menjadi wilayah yang sangat disayangkan, isu yang berkembang sangat menyoroti serambi mekkah ini. Ada yang mengatakan “tsunami korupsi” anehnya sampai sekarang pihat yang terkait belum intropeksi diri, janji-janji kelabu menuju 2014 mendatang sangat antusias, pokokya kekuasaan harus ada ditangannya.

Kekacauan pemerintah ada ditangan pemerintah, pemerintahlah yang berkuasa dalam segala bidang baik ekonomi, sosial, politik sampai budaya, masyarakatlah menerima dampak dari kebijakan tersebut, seandainya kebijakan pro terhadap rakyat tentunya mahasiswa yang mempunyai gelar agent of change tidak selalu melakukan penekanan, jikalau yang terjadi sebalikya, masasiswa jangan duduk, dengar dan diam.

Provinsi Aceh terkorup kedua itu rilis oleh LSM Fitra setelah DKI Jakarta, yang di khawatirkan adalah pemerintah kita tidak merubah paradigma yang selama ini kurang baik. Ada beberapa langkah yang harus pemerintah lalukan saat ini.

Poin yang “masalah”

Salah satunya bagaimana komitmen penghapusan dana aspirasi yang ada diparlemen, meskipun belum ada rencana dari Dewan perwakilan Rakyar (DPR) ini salah satu yang harus dilakukan oleh DPR, menurut data yang diplubikasi di media Aceh online Pada tahun 2011 dan 2012, terdapat Rp 848,6 miliar dana aspirasi yang dikelola oleh dewan. Dimana tahun 2011 sebesar Rp 277,6 miliar dan tahun 2012 sebesar Rp 572 miliar.  “Dana ini dititipkan di sejumlah SKPA, dan dicairkan sesuai dengan rekomendasi dewan, (Rabu Aceh Online 13/03/2013).

Menurut kaca mata penulis bahwa dana tersebut hanyalah untuk memperkayakan kelompok yang dekat dengan penguasa hari ini, alokasi dana yang ditempatkan bukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, dan sepatutnya dana tersebut dihapuskan, mengingat penempatannya tidak sesuai dengan harapan yang di inginkan.

Dana aspirasi tidak ada undang-undang yang mengaturnya, peraturan mentri dalam negeri(Mendagri) juga tidak ada, bahkan kalau berbicara Aceh yang mempunyai Udang_Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tidak ada juga disebutkan, menyangkut peraturan daerah (Perda) kalau di Aceh disebut Qanun juga tidak disebutkan, kegunaan data tersebut hanyalah untuk segelintir orang saja, dibeberapa propinsi lain sudah dihapus dana tersebut mengingat dewan tidak pro rakyat, siapa yang dekat dia dapat, itu menurut saya.

Hak Minoritas

Setiap warga mempunyai hak, hak mendapat pendidikan, hak mendapat kesehatan bahkan mendapatkan pekerjaan yang layak serta hidup yang layak, namun apa yang terjadi sebenarya di Aceh ini?

Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan  bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Implementasi saat ini sangat jauh dari apa tertera dalam landasan hukum negara kita

Bebicara maslah sumber daya alam Aceh Utara merupakan sebuah wilayah yang banyak mengumbangkan untuk pendapatan negara, meskipun tidak ada data yang kongkrit terhadapa pendapatan tersebut, namun masyarakat bisa melihat berapa perusahaan yang ada di Kabupaten Aceh Utara ketimbang kabupaten lain.

Saat kita melintasi jalan Banda Aceh-Medan PT Arun, PT PIM, ExxonMobil akan terlihat di sepanjang lintasan Kabupaten Aceh utara, nasib masyarakat juga sangat ironis ketika kita memandang yang tinggal di lingkaran perusahaan tersebut.

Kepekaan sosial dari pihak yang terkait sangat tinnggi, ini terbukti masih banyak pengguran, perampokan, peminta-minta di Aceh Utara, budaya Aceh bukan peminta minta tapi pemberi-beri, kekurangan dari faktor ekonomi akan meningkatkan perampokan dan pencuriaan.

Disini peran pemerintah dalam memperbaiki birokrasi untuk menuju kesejahteraan seluruh masyarakat sangat besar, kita yakin kepada pemerintah yang selama ini sudah bekerja keras, tapi kita lebih sangat yakin kalau pemerintah bisa mengalokasi dana aspirasi untuk memperbaiki roda perekonomian masyarakat bukan untuk memperbaiki roda partainya

Alangkah lucunya negeri ini seperti dalam sebuah film sudah terlihat didalam birokrasi pemerintah kita saat ini, pemerintah ya pemerintah, rakyat ya rakyat, inilah nasib negeriku, mungkin pemerintah kita saat ini harus berobat kerumah sakit, supaya roda pemerintah sehat atau pemerintah kita harus minum “Protokol”.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unimal dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara angkatan ke-III

Back To Top