Sumber informasi tentang isu sosial, budaya dan politik dari Aceh untuk dunia

‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil

Muhammad Usman yang lebih di kenal dengan nama Osama.
Foto ini saya ambil di wall Facebook miliknya.
SATU hari menjelang tahun baru Islam, 1 Muharam 1437 Hijriyah, kita di Aceh dikejutkan dengan pecahnya satu peristiwa yang melukai kerukunan hidup umat beragama di Aceh Singkil. Dikabarkan kondisi mencekam lantaran ada rumah ibadah yaitu satu gereja di Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, dibakar (aceh.tribunnews.com, 13/10/2015).
Peristiwa yang juga merenggut satu korban jiwa itu, menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak; baik pemerintah, tokoh masyarakat, aktivis mahasiswa, LSM maupun politisi negeri ini. Kita semua tentu sepakat bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dilakukan, apalagi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.

Rumah ibadah, merupakan lambang sebuah agama, dan bagi pemeluknya merupakan hal yang esensial. Baik dalam agama Islam, Hindu, Kristen, Buddha, maupun agama lainnya rumah ibadah merupakan tempat yang selalu dijaga, dirawat dan dibangun bersama. Kasus di Aceh Singkil bukanlah kasus yang pertama yang terjadi di Republik ini. Kita masih ingat hal serupa, misalnya, sebelumnya terjadi di Kabupaten Talikara, Papua, saat Hari Raya Idul Fitri 1436 H lalu (aceh.tribunnews.com, 18/7/2015).

Dua kasus di atas bisa menjadi refleksi bersama terkait kebebesan beragama di Indonesia. Ini merupakan wajah suram demokrasi kita, di mana negara belum mampu sepenuhnya menjamin hak asasi manusia.

Dalam laporan tahunan, The Wahid Institute menunjukkan angka kekerasan dengan motif agama dari tahun ke tahun terus naik, pada 2009 terjadi 121 kasus/peristiwa, 2010 ada 184 kasus, 2011 sebanyak 267 kasus, 2012 terdapat 278 kasus, 2013 ada 245 kasus sedangkan 2014 tercatat sebanyak 154 kasus terjadi.

Dengan data dan fakta tersebut, maka masalah kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi masih belum selesai di negara kita ini. Indonesia yang aman dan jauh dari kekerasan belum terwujud.

Kerangka Madinah

Sejarah umat Islam tempo dulu, di masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw, sudah mengatur dengan baik kerangka kerukunan antar umat bergama. Rasulullah menjadi pemimpin bukan hanya untuk pemeluk Islam semata.

Dalam sejarah Madinah tercatat, bahwa Nabi Muhammad menjadi pemimpin dengan kondisi penduduk yang hetrogen bukan homogen. Setidaknya ada enam golongan kaum pada saat Nabi memimpin Madinah. Pertama, kaum Arab Madinah yang mememuluk Islam yang disebut kaum Anshar; Kedua, orang-orang Arab Mekkah yang muslim yang disebut kaum Muhajirin; Ketiga, orang-orang Arab Madinah penganut paganisme; Keempat, golongan munafik; Kelima, golongan Yahudi yang terdiri dari berbagai suku: baik bangsa Yahudi maupun orang Arab yang menjadi Yahudi, dan; Keenam, penganut agama Kristen Minoritas (J. Suyuthi Pulungan, 1994:57).

Kondisi hetrogenitas penduduk Madinah pada waktu itu, juga berpengaruh pada cara pandang yang berbeda-beda ditambah lagi kenyakinan berbeda serta adat istiadatnya. Karena perbedaan inilah, kemudian dibutuhkan sebuah tatanan hukum/kesepakat agar terwujud masyarakat yang teratur, tercipta rasa aman, damai, keadilan bagi semua, pengaturan kerja sama untuk menjamin kepentingan bersama serta dibutuhkan pemimpin yang tegas dan berwibawa untuk melaksanakannya. Maka, Nabi Muhammad bisa mempersatukan mereka dalam sebuah perjanjian bersama yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.

Menurut AJ Wensink, Piagam Madinah berisi 47 Pasal yang menyatukan umat yang majemuk pada saat itu. Bila dipejari lebih mendalam, ada 14 prinsip pemerintahan dalam Piagam Madinah: (1) Umat; (2) Persatuan dan persaudaraan; (3) Persamaan; (4) Kebebasan; (5) Hubungan antarpemeluk agama; (6) Pertahanan; (7) Hidup bertetangga; (8) Tolong menolong; (9) Perdamaian; (10) Musyawarah; (11) Keadilan; (12) Pelaksanaan Hukuman; (13) Kepemimpinan; (14) Ketakwaan, amar makruf dan nahi munkar. Inilah cakupan dari 47 pasal yang terkandung dalam perjanjian antar umat beragama pada masa Rasulullah saw.

Langkah perbaikan
Kerangka Piagam Madinah, perlu dipelajari dan dijadikan patokan dalam pengembangan kerukunan umat bergama di Indonesia. Sejarah Madinah masa lalu tidak dapat dipungkiri sebagai fakta sejarah yang berhasil dalam pengelolaan kemajemukan sebuah komunitas.

Dalam momentum tahun baru 1437 Hijrah ini, sudah sepatutnya kita kembali melihat kepada pola-pola pengaturan yang dibuat oleh Rasulullah Saw di masa lalu, untuk mengujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik. Berhijrah menuju masyarakat yang madani.

Ke depan, menurut penulis untuk menciptakan kerukunan antarumat bergama di Indonesia diperlukan beberapa hal, di antaranya: Pertama, penganut agama saling menghormati, tidak saling menuding serta memandang ajaran agama lain salah; Kedua, jangan menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama, baik secara sembunyi maupun secara terang-terangan; Ketiga, mematuhi semua ketentuan hukum dan kesepakatan yang dibuat untuk pengaturan.

Kejadian di Aceh Singkil, bisa dipandang dalam kerangka yang konstruktif untuk perbaikan toleransi ke depan. Bukan saja dipandang dalam pandangan negatif semata. Suasana kerukunan antarumat beragama perlu dibangun dengan bina damai (peace building).

Kita sadar, bahwa kehidupan kita tidak terlepas dari konflik. Bila sudah konflik terjadi maka kita membutuhkan jalan penyelesaian serta pembangunan kerangka masa depan untuk menghindari hal yang sama agar tidak terjadi lagi di masa depan. Semoga!

* Muhammad Usman, Mahasiswa Program Pascasarjana Pendidikan Agama Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU). Email: usman_aaceh@yahoo.co.id.

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2015/10/17/piagam-madinah-solusi-konflik-singkil

Labels: Opinion

Thanks for reading ‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil. Please share...!

0 Comment for "‘Piagam Madinah’ Solusi Konflik Singkil"

Back To Top