Oleh : Bukhari
Salah satu butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 adalah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, dalam pasal 260 juga ditegaskan bahwa pembentukan KKR adalah satu tahun setelah UUPA disahkan, sementara UUPA sendiri sudah disahkan sejak tahun 2006 lalu.
Salah satu butir Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 tahun 2006 adalah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh, dalam pasal 260 juga ditegaskan bahwa pembentukan KKR adalah satu tahun setelah UUPA disahkan, sementara UUPA sendiri sudah disahkan sejak tahun 2006 lalu.
Dalam MoU Helsinki sudah sangat tegas dinyatakan bahwa KKR serta pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh harus segera dibentuk dengan tujuan agar negara bertanggung jawab atas penderitaan korban pelanggaran HAM dimasa lalu, keadilan HAM juga merupakan salah satu amanat dari kontitusi negara kita.
Namun menjelang Agustus 2013, MoU Helsinki akan beumur 8 tahun, namun KKR belum ada kepastiaan kapan dibentuk, padahal para korban pelanggaran HAM masa lalu di Aceh sangat menanti keadilan atas apa yang dialaminya. Mereka seperti menangkap ikan di tengah laut dengan tangan, bukan dengan jaring (perkataan salah satu korban di sebuah acara seminar).
Ini tugas berat bagi Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf (ZIKIR) yang terpilih dalam Pilkada tanggal 9 April tahun 2012 lalu. Satu tahun sudah ZIKIR memegang pucuk kekuasaan, ini momen penting yang harus diselesaikan oleh ZIKIR.
Mayoritas masyarakat Aceh masih percaya terhadap kinerja Partai Aceh (PA). Apakah Pemerintah memahami nasib masyarakat Aceh sekarang ini? terutama dari pihak korban yang dihantam oleh peluru dari aparat negara dimasa konflik. Nyawa seseorang itu bisa dibeli dengan sebutir peluru dari aparat negara, padahal peluru tersebut dibeli dengan uang rakyat yang menjadi korban. Seharusnya aparat negara mengayomi dan melindungi masyarakat sipil yang tidak bersalah disaat operasi militer berlangsung, yang terjadi malah sebaliknya, nilai-nilai kemanusia ternoda dengan kebiadaban aparat Negara.
Mengingat sebuah lirik lagu yang dinyayikan oleh Imum Jhon menyoe na hai adoe gapeuh boh panjoe kuepu lom tabloe gapeuh jakarta [kalau kita sudah mempunyai pemimpin kita sendiri untuk apa kita pilih orang pusat (Jakarta)]. Seluruh masayarakat Aceh mengetahui bahwa di parlemen itu mayoritas orang kita awak geutanyoe, tetapi apa yang telah mereka lakukan terhadap rakyat Aceh? janji-janji kosong yang keluar dari mulut mereka untuk seluruh rakyat Aceh, terutama bagi pihak korban pelanggaran HAM yang ingin mencari keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu.
Janji politik DPRA
Pada bulan Desember 2010 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pernah berjanji akan memprioritaskan qanun KKR selambat-lambatnya Juni 2011, namun sampai 2013, KKR belum ada kepastian kapan dibentuk di Aceh, janji-janji itu tidak dipenuhi.
Di pihak lain, para korban konflik yang didukung oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kemanusian di Aceh serta mahasiswa, terus mendesak agar hak-hak mereka dipulihkan, karena KKR itu harga mati bagi korban konflik Aceh.
Qanun KKR Aceh salah satunya memberikan ruang untuk pendokumentasian kasus masa lalu, bahwa negara pernah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya, tugas negara terhadap HAM adalah untuk menghormati, menghargai, memajukan dan melindungi hak asasi manusia.
PA merupakan Partai yang memperjuangkan MoU Helsinki dan UUPA, di masa kampaye tema yang dibicarakan adalah tapeudame ngoen MoU tapeulaku ngoen UUPA (kita berdamai dengan MoU dan kita melakukan perubahan Aceh dengan UUPA).
Ketika tidak direalisasikan amanat MoU Helsinki dan KKR maka berbagai kemungkinan akan terjadi. Salah satunya kekecewaan terhadap kinerja PA, yakinlah wahai para cekgu, kalau MoU dan UUPA tidak direalisasikan kemungkinan besar pada periode 2014-2019, PA akan merosot suaranya.
Apalagi jika pihak oposisi bisa memobilisasi masyarakat yang kecewa terhadap PA, ini sangat disayangkan kalau seandainya ZIKIR tidak bisa menuruti keinginan seluruh masyarakat Aceh, khusunya dari pihak korban pelanggaran HAM Aceh.
Harapan dan kenyataan
Setelah ZIKIR terpilih sebagai pimpinan Pemerintah Aceh periode 2012-2017 dari Partai Aceh, maka tugas beratnya adalah melaksakan janji-janji yang telah mereka katakan pada masa kampaye. Disamping itu, Qanun KKR Aceh harus menjadi prioritas dalam beberapa bulan kedepan, karna itu merupakan sejarah. Sejarah umpamanya seperti kaca spion, kita liat ke belakang untuk menuju kedepan (Eka Januar dalam sebuah presentasi di Unimal).
Fakta sejarah
Berdasarkan fakta sejarah, di era 1989-1998 tercatat sebanyak 871 orang tewas di TKP akibat tindak kekerasan, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban rumah dibakar dan 102 korban pemerkosaan (data dari Koalisi NGO HAM Aceh).
Kasus rumoh geudong, dimana warga sipil dipukuli dengan menggunakan kabel listrik dan dipaksa minum air kencing. Peristiwa gedung KNPI Lhokseumawe, kasus Idi Cut, tragedi simpang KKA, pembunuhan massal terhadap Tgk Bantaqiah dan santrinya, ini merupakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya (Seri Aceh II).
Kekerasan demi kekerasan telah dilalui korban pelanggaran HAM Aceh, meskipun ada sebagian masyarakat korban sampai detik ini masih trauma waktu mengingat kejadian masa lampau, lalu bagaimana tugas Negara untuk menghilangkan trauma ini.
Persoalan pendokumentasian kasus masa lalu belum kunjung tiba, dengan adanaya KKR maka hak-hak korban seperti reparasi, kompensasi dan restitusi juga akan diberikan. Maka penting untuk sesegera mungkin adanya Qanum KKR Aceh, sebagai langkah nyata dalam penyelesaian kasus masa lalu. (op)
(Penulis adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Malikussaleh dan Siswa Sekolah HAM angkatan V serta Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan ke III)
Labels:
Opinion
Thanks for reading KKR Milik Siapa?. Please share...!
0 Comment for "KKR Milik Siapa?"