Sumber informasi tentang isu sosial, budaya dan politik dari Aceh untuk dunia

Otonomi Daerah, Solusi atau Problem?

BANYAK kalangan menilai Pemerintah Pusat belum sepenuh hati memenuhi hak-hak Aceh yang telah diberlakukan sebagai daerah otonomi khusus. Lambannya penerbitan tiga Peraturan Pemerintah (PP) yaitu, Pengelolaan Minyak dan Gas (Migas); Pelimpahan Kewenangan; dan PP Pertanahan menjadi indikator kuat ketidak ikhlasan dan keseriusan pemerintah pusat.
Seharusnya peamerintah sudah menerbitkan tiga PP tersebut paling lambat 2008 lalu, sesuai amanah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Hal ini hasil dari penandatanganan Memorandum Of Undestanding (MoU) tahun 2005 di Helsinki. Namun,  sampai Juli 2013, hanya PP Partai Lokal saja yang baru diterbitkan.
Ini menyebabkan pemerintahan otonomi di Aceh selama enam tahun jalan di tempat. Apa pentingnya ketiga PP tersebut bagi Aceh? “Ketiga regulasi tersebut adalah landasan bagi pemerintah Aceh untuk dapat melaksanakan pemerintah otonom yang sesungguhya,” jelas Koordinator Komunitas Demokrasi Aceh Utara (KDAU) Muhammad Usman menjawab Serambinews.com, Sabtu  (20/7/2013).
Sekarang Pemerintah Aceh belum memiliki hak dan kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintah yang otonom. Daerah yang diberlakukan otonom diwujudkan dengan pengaturan, untuk melaksanakan program kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya aturan itu Pemerintah Aceh bisa mengelola cadangan Migas untuk peningkatan sumber daya manusia, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal ini supaya masyarakat Aceh bisa merasakan keuntungan dari hasil perut bumi mereka sendiri. Tapi ternyata sudah enam tahun pasca pendantanganan MoU, belum ada realisasi. “Ini yang kita maksud otonomi di Aceh jalan di tempat,” katanya.
Menurut Usman, seharusnya Pemerintah Pusat tidak melupakan catatan sejarah. Sebab tujuan pemberian kekhususan kepada Aceh tahun 2005, untuk penyelesaian konflik di Aceh. Munculnya konflik berkepanjangan di Aceh, karena diawali ketidakadilan pusat dalam pembagian hasil bumi. “Persoalan PP itu berpotensi timbulnya konflik baru pemerintah pusat dengan Aceh jika penerbitan PP tersebut terus diperlambat,” katanya.
 Selain itu, regulasi itu dapat berkah bagi Pemerintah Aceh untuk menghidupkan kembali industri, seperti Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA); Asean Aceh Fertilizer (AAF); Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang belum mampu beroperasi secara maksimal. Sebab selama ini, KKA dan AAF belum beroperasi lagi karena tidak mendapatkan pasokan gas.
Padahal pabrik itu berdiri di kawasan operasional ExxonMobil dan PT Arun yang mengeksplorasi dan memproduksi gas. “Inikan sangat ironis,” ujar Usman. Padahal hakikat otonomi khusus untuk meningkatkan derajat keadilan sosial. Distribusi kewenangan secara proposional pusat dengan daerah, sehingga daerah bisa mandiri, dan mampu memajukan daerahnya.
Tapi dalam persoalan itu, lanjut Usman komitmen Pemerintah Pusat terhadap janji politiknya cukup rendah. Selain tiga PP tersebut yang diamanahkan dalam UUPA, juga ada perangkat hukum lain seperti PP pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh dan regulasi lain.
“Pemerintah Aceh harus mengingatkan kembali Pemerintah Pusat  akan isi penandatangan MoU di Helsinki, sehingga tidak memunculkan kembali persoalan baru,” jelas Usman.
Sikap Tegas
Sementara itu Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin menyebutkan Pemerintah Aceh harus bersikap tegas terhadap Presiden SBY. Sebab tiga PP tersebut adalah perintah dari UUPA. Lambannya proses penerbitan PP tersebut adalah bentuk ingkar janji (Wanprestasi) dari Presiden dan itu bisa digugat.
“Kalau dengan cara lobi yang juga tidak memungkinkan lagi. Pemerintah Aceh harus mengambil sikap tegas, menggugat Presiden SBY. Hal ini penting dilakukan untuk membuktikan di tingkat nasional dan internasional, siapa selama ini yang tidak konsisten terhadap amanah undang-undang,” katanya.
Karena itu lanjut Safaruddin, YARA menunggu langkah konkret yang dilakukan pemerintah Aceh untuk memperjuangkan hak-hak Aceh. “Tapi jika sampai 1 Januari 2014, upaya Pemerintah Aceh belum berhasil mendesak Pemerinta Pusat,” katanya.
YARA lanjut Safaruddin, akan menggugat Pemerintah Pusat, Sebab YARA punya legal standing (kedudukan hukum) untuk menggugat. “Gugatan ini adalah untuk memperjuangkan hak-hak kekhusuan Aceh, yang memang harus diberikan pemerintah secara ikhlas dan sepenuh hati tanpa harus direbut. Sebab jika tidak,  kekhususan Aceh tidak ada artinya,”pungkas Safar
Bentuk Tim Terpadu
Akademisi Universitas Malikussaleh Dr Muklir kepada Serambinews,com menyebutkan Pemerintah Aceh harus segera membentuk tim terpadu untuk memperjuangkan hak-hak kekhususan Aceh. PP tersebut sangat berpotensi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Aceh. Sebab untuk mengeksekusi amanah undang-undang perlu peratusan yang mengatur secara mendetail kewenangan pemerintah.
Bagaimana seharusnya pemerintah Aceh sebagai daerah otonomi khusus? Muklir menyebutkan Pemerintah Aceh memiliki kewenangan untuk mengatur suku bunga bank di luar ketentuan Bank Indonesia. Pemerintah Aceh bisa mengembangkan Pelabuhan Sabang untuk eskpor hasil pertanian dan perkebunan.
“Pelabuhan Sabang sampai sekarang belum bisa difungsikan sebagai pelabuhan bebas untuk mengekspor hasil dari Aceh ke luar daerah karena belum diterbitkan PP, padahal pembahasan PP itu sudah cukup lama,” ujar Muklir.
Tugas lain tim terpadu adalah, mengajukan Judicial Review, terhadap pasal-pasal yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, dan tidak sesuai keinginan masyarakat Aceh.
Pemerintah Aceh perlu melakukan terobosan baru, tidak hanya saja melobi, tapi juga membentuk tim terpadu untuk memperjuang haknya secara terus menerus. Sebab jika tidak, proses penerbitan PP itu akan lama lagi memakan waktu. Tanpa adanya tim terpadu, dikhawatirkan PP tersebut tidak akan diterbitkan.
PP Urgen
Wakil Pemantau otsus Aceh-Papua Marzuki Daud menyebutkan, pihaknya  sudah berulang kali mendesak pemerintah pusat  untuk segera mengesahkan tiga Rncangan Peratusan Pemerintah (RPP), sehingga Aceh bisa merealisasikan tugasnya sesuai ketentuan undang-undang. "Ketiga RPP ini penting untuk menciptakan keleluasaan bagi Aceh dalam menjalankan Otsus,” tegasnya.
Marzuki mengatakan, Aceh juga harus ikut serta dalam pengelolaan migas lepas pantai sampai 200 mil laut. “Sudah ada beberapa kali pertemuan dengan pemerintah, tapi masih deadlock,” katanya. Menurutnya, desakan segera diterbitkan ketiga RPP jadi PP tersebut tidak berlebihan, sebab saat ini kesejahteraan masyarakat rendah, dan kawasan miskin di Aceh capai 20 kabupaten.
Sementara itu Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah telah berulangkali meminta Presiden SBY agar segera menuntaskan pembahasan dan menerbitkan tiga PP yang merupakan turunan dari UUPA. Baru-baru ini usai rapat di Meuligoe Aceh, Gubernur Aceh kepada sejumlah wartawan juga menyebutkan tiga PP tersebut penting segera diterbitkan.
“Kalau mengacu pada amanah isi UUPA, paling lambat sudah diselesaikan Pemerintah Pusat tahun 2008 lalu,” kata gubernur. Tanpa adanya PP Pertanahan, Pemerintah Aceh merasa sangat kesulitan menata kembali izin Hak Guna Usaha (HGU).
Karena izin perkebunan berskala besar, harus mendapat izin lebih dahulu dari Menteri Kehutanan dan Dirjen Perkebunan, begitu halnya dengan pengelolaan pelabuhan laut, dan pengoperasian pelabuhan laut di Aceh menjadi terbatas.(*)
* Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba nasional karya jurnalistik dengan tentang otonomi daerah yang diselenggarakan Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) 2013

Labels: News, Umum

Thanks for reading Otonomi Daerah, Solusi atau Problem?. Please share...!

0 Comment for "Otonomi Daerah, Solusi atau Problem?"

Back To Top