Keshalehanku
Menanti Rahmat-MU
(Sebuah Fiksi Kehidupan Salehah)
Matahari mulai berjalan ke arah ujung langit. Sinarnya mulai memerah.
Membuat lampu dunia kelam. Keadaan akan berubah menjadi gelap. Sebuah taksi
melaju rendah, menyusuri jalan kuburan Malikussaleh. Penumpangnya seorang gadis
berjilbab ungu muda. Bola mata yang memandang ke segala arah, berharap akan
segera sampai ke tujuan. Bibir yang dibasahi oleh tasbihan, muka yang mungil
mulai memerah, hati yang diselimuti oleh kesedihan. Pikirannya yang terus
melayang, membayangkan kejadian-kejadian yang telah berlalu. Tanpa menyadari
air mata mulai menetes. Rasa sedih yang terus menyesak didalam dada.
Mobil itu mulai memasuki terminal
Lhokseumawe tepatnya di Cunda. Bangunan terminal tersebut terlihat seadanya dan sedikit semberaut.
Tidak terlihat perubahan tata bagunan serta kurang modern, bisa saja pemerintah
kurang memperhatikan pembangunan terminal tersebut. Gadis itu turun, dan
menyerahkan beberapa puluh ribu kepada supir taksi serta membawa barang
bawaannya. Lalu menggerakkan langkahnya memasuki bagunan
terminal. Langkahnya begitu berat untuk
di gerakkan. Kekuatan telah hilang ditelan kesedihan.
Matahari mulai tenggelam perlahan di
ufuk Barat. Azan Magrib
mulai berkumandang sebagai
tanda bahwa salat sudah tiba. Gadis tersebut bergegas cepat mencari tempat
penyejuk jiwa, hingga ditemukannya sebuah musalla yang serba sederhana. Dia
membasahi mukanya dengan air wudhuk, segera
menunaikan kewajibannya sebagai ummat Islam.
Setelah selesai menunaikan
kewajibannya, dia berjalan menuju tempat penjualan karcis Kereta Api. Dia
mendapat no 4-A di gerbong kedua, lalu berjalan menuju kereta yang sudah siap
untuk berangkat. Dia memasuki gerbong
kedua. Lalu meletakan semua bawaannya dibagasi yang telah tersedia. Hanya tas
merah kecil dibahunya. Setelah duduk, dia menarik nafas dan kembali menangis.
Kereta mulai berjalan, keadaan malam yang semakin larut membuat semua
penumpang kereta tertidur
lelap. Wajah putih
yang berseri-seri itu menahan isakan tangisannya, agar tidak terdengar oleh
penumpang di sekitarnya. Dia menangisi kematian sang ummi tercinta. Dari kecil
dia hidup bersama ummi dan saudara-saudara kandungnya. Abi telah lama
meninggalkannya, hanya selembar foto
kenangan yang terpanjang didinding rumah serta selembar foto kecil yang ada didalam
dompet kecilnya.
Memang, ummi sering sakit, tetapi kepergiannya tidak meninggalkan
isyarah apa-apa. Pada hari sebelum ummi
meninggal mukanya terlihat pucat (sebut saudara ditelepon saat menghubunginya).
Tapi pada malam itu, ummi terlihat begitu beda, wajahnya bercahaya-cahaya.
Keluarga berfikir bahwa ummi akan segera lekas sembuh dari penyakit yang telah lama dideritanya. Suasana
yang terjadi sangat berbeda, semua saudara berkumpul bersama mengucap syukur
atas karunia yang telah Allah turunkan untuk ummi. Salat yang
tidak pernah beliau tinggalkan meskipun dalam keadaan sakit. Beliau meninggal
dalam keadaan sujud saat melaksanakan salat Insya berjamaah di Mesjid Al-Aqsa(begitu
cerita suadaranya ditelepon).
Dia memandang kearah jendela kereta, kembali termenung mengingat tiada lagi
sosok yang membuat dia bahagia. Hati terasa sakit dan perih bagaikan menelan
duri yang runcing. Melihat jam tangan sudah menuju pukul 24.00 WIB. Semua orang
yang ada didalam kereta mulai merasakan dinginnya angin malam. Semua tertidur
pulas menikmati bunga malamnya. Saat mata mulai menutup, tiba-tiba terdengar suara yang aneh. Hingga terbangun dan
terkejut. Ternyata ada seorang pemuda yang mencoba mengambilkan tas bawaannya
yang ada di dalam bagasi di atas kepalanya. Seraya dia mengeluarkan suara.
“Tolongggggg……
ada maling!”
Para penumpang kereta hampir semua terbangun. Kekagetan dan ketakutan
menghampiri mereka. Penjahat itu bingung dan mengeluarkan pisau lipatnya. Dengan gerakan sangat cepat dia meraih badan
gadis yang berjilbab itu dan menondongkan pisau di lehernya. Gadis itu takut
bukan main. Kalau pisau itu sampai mengorok lehernya, maka dia akan mati dan
menyusul umminya yang baru saja meninggal. Dia takut, badannya bergemetar.
Semua penumpang kereta terdiam. Sorot lampu dalam
keretapun ikut terdiam. Tidak ada yang berani bangun untuk membantu sang gadis.
Namun, tiba-tiba kereta berjalan menyentak. Penjahat itu kehilangan kosentrasinya.
Penjahat bingung, takut akan menjadi sasaran amukan semua penumpang kereta. Penjahat
memutuskan untuk melarikan diri kearah pintu yang ada di sebelahnya, lalu
melompat keluar kereta.
Lepas Bahaya
Semua penumpang kereta kembali tertidur sambil menikmati bunga malamnya
masing-masing. Gadis merasa bersyukur karena terlepas dari bahaya yang sangat
menakutinya itu.
Hingga beberapa jam kemudian Tasya sampai di stasiun Krueng Geukueh. Tasya di
jemput oleh salah satu saudaranya. Dalam perjalanan pulang dia selalu membayangkan raut wajah umminya
yang begitu sempurna di matanya. 30 menit kemudian dia sampai di rumahnya
Ayat-ayat Allah terdengar di rumah Tasya. Dia tak bisa menahan isakannya.
Dia hampir pingsan tapi kakak-kakaknya mencoba memberi kekuatan dengan
semampunya. Orang-orang yang datang ke rumah Tasya mengetaui bahwa putri kesayangan
almarumah baru saja tiba. Tasya masuk ke rumah yang dipadati banyak orang itu.
Dia langsung mencium umminya. Dia berguman dalam hati “ummi, engkau telah pergi
dari hidupku. Namun dirimu tidak akan hilang dari benakku. Aku sangat
menyayangimu. Aku sa….ngat mencintaimu, ummi. Terima kasih engkau telah
membesarkan ku sampai detik ini. Aku sayang ummi selamanya.”
Tasya beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air wudu agar dia bisa
mensalati umminya. Pada hari itu Abah Arifin yang menjadi imam saat mensalati Ummi Maryam.
Setelah Ummi Maryam selesai di makamkan di pemakaman tanah wakaf gampong. Semua
orang pulang dari pemakaman itu, termasuk Tasya yang masih berat untuk
melepaskan umminya tercinta.
Abah Arifin menemui kakak–kakak dari Tasya, bertujuan untuk memberi sedikit
penyejuk hati agar mereka bisa mengikhlaskan umminya. Abah Arifin merupakan
teman dekat dari abinya Tasya. Mereka pernah nyantri bersama-sama di pasantren
Darussalam Labuhan Haji di Aceh Selatan.
Pimpinan pasantren tersebut adalah Abuya Syeh.H.M.Wali AL-Khalidy. Beliau
sudah lama meninggal, namun pasantren tersebut di pimpin oleh putra-putra
almarhum sampai saat ini
Sebulan telah berlalu. Pada hari Jumat tanggal 15 Maret abah datang menemui
keluarga Tasya. Setelah berbicara panjang lebar Abah Arifin mengajukan niat
yang utama datang kerumah Tasya. Wahai anak-anak abah tercinta bolehkah abah
bertutur sesuatu? tanya abah kepada kakak Tasya. Silahkan abah, jawab kakak Tasya.
Hari ini, abah ingin mengutarakan keinginan abah kepada nak Tasya, maaf
sebelumnya jika hal ini terlalu cepat abah sampaikan. Namun menurut abah, ini
waktu yang tepat untuk membicarakannya. Apakah nak Tasya mau bersanding dengan anak
abah yang bernama Zaky Al-Malibari yang nyantri di pondok pasantren Ulumuddin
Cunda? jika nak
Tasya tidak setuju dengan keinginan abah, nak Tasya boleh menolak lamaran Zaky.
Abah akan memaklumi keputusan dari nak Tasya. silahkan nak Tasya mengatakan
keinginan nak Tasya sendiri.
Aku tidak menyangka,
Hatiku berdegup kencang, air mata jatuh begitu saja tak bisa kutahankan.
Seluruh anggota tubuhku mengeluarkan keringat, hati terus mengucap rasa syukur
yang paling dalam. Suara tak bisa ku keluarkan, mulutku terasa beku. Tak
sepatah katapun yang bisa ku keluarkan. Aku mengerti dengan bahasa gerak–gerik
tubuh saudara-saudaraku. Mereka sangat berharap agar aku akan menerima lamaran
dari abah Arifin. Ya Allah yang Maha mengetahui, Engkau tahu mana jodoh yang
baik untukku, yang akan menjadi suami untukku dan bapak dari anak-anakku serta
imam dalam keluargaku.
Afwan abah, hari ini Tasya tidak bisa memberi keputusan dari niat abah,
tolong beri waktu untuk Tasya satu minggu, untuk memantapkan keputusan
Tasya. Jika boleh,
abah bisa datang satu minggu lagi. Insya Allah Tasya akan memberi keputusan
yang sejujurnya. Jika tidak, Tasya tidak bisa berkata apa-apa. Pinta Tasya
kepada keluarga Zaky.
Baiklah nak, jawab abah. Nak Tasya, ummi sangat ingin bila nak Tasya mau
menerima lamaran dari abah dan ummi, lirih Ummi Zaky yang penuh dengan permintaan.
Insya Allah ummi, jawab Tasya dengan suara terbata-bata. Keluarga Zaky berpamitan untuk
pulang.
Pada malamnya Tasya tidak bisa tidur. Dia tidak percaya bahwa dia akan di
lamar. Malam yang penuh dengan kebingungan. Hati yang resah dan gelisah bahkan
bahagia tak tahu kenapa. Air mata yang tak henti-hentinya mengalir membasahi
pipi. Udara yang dingin dengan hembusan angin malam. Semua membisu tak dapat
memecahkan keheningan yang terjadi.
Tasya melakukan Salat Tahjud lalu melanjutkannya dengan salat Istikharah.
Dia melakukannya dengan penuh keikhlasan dan kekhusyukkan. “Ya Allah, pada malam ini hamba menyerah
diri kepadamu. Berilah yang terbaik untuk hamba. Jika memang dia jodoh hamba
yang telah engkau tetapkan didalam lauf mahfud maka hamba bersedia menerima
semuanya. Hamba percaya dan yakin bahwa semua ini merupakan hal yang terbaik
yang telah Engkau takdirkan untuk hamba. Jika memang Zaky adalah jodoh hamba maka persatukan kami
seperti Engkau mempersatukan Adam dan Hawa. Amin ya Allah, amin ya rabbaal
A’lamiiiinnn.” (doa Tasya)
Satu Minggu Telah Berlalu
Pada hari yang sama, keluarga Zaky datang ke rumah Tasya.
Bagaimana kabarmu nak? Tanya abah kepada Tasya. Alhamdullah baik abah, abah dan
ummi bagaimana keadaannya? lanjut Tasya dengan wajah yang menunduk. Alhamdulillah
abah dan ummi sehat, jawab abah dan ummi dalam waktu yang bersamaan.
Nak, abah dan ummi datang kembali sesuai permintaan nak Tasya di minggu
yang lalu. Nak Tasya tidak usah ragu dengan keputusan nak Tasya, apapun
keputusan nak Tasya, abah, ummi dan Zaky sendiri siap menerima semuanya, ucap abah
kepada Tasya dengan suara yang begitu lembut dan sopan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada abah, ummi dan bang Zaky yang
menghargai permintaan saya di minggu lalu. Pada hari ini dengan mengharapkan
kerizhaan dari Allah SWT dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim
lamaran bang Zaky saya terima. Ucap Tasya dengan suara yang terbata-bata,
akibat isakan tangisannya yang tak bisa dia sembunyikan. Dia benar-benar
bahagia.
Semua orang yang ada di ruang tamu mengucap syukur yang amat dalam.
Semuanya terlihat bahagia karena jawaban yang keluar dari mulut Tasya merupakan
jawaban yang di nanti-nantikan.
Terima kasih
nak Tasya, abah dan ummi sangat bahagia,
ucap ummi dan abah bersamaan. Syukurlah dek Tasya, semoga Allah merizhai kita
semua, ucap Zaky dengan suara yang penuh bahagia.
Baiklah, bagaimana pada bulan Syawal ini kita adakan acara resmi pernikahan antara nak Zaky
dengan nak Tasya. bagaimana menurutmu nak? Ucap abah kepada keluarga Tasya.
Alhamdulillah abah, bagi kami itu tidak jadi masalah. Bagaimana
dengan mu Zaky, ujar salah satu kakak Tasya.
Bagi saya
tidak ada masalah, karena di mana bulan Syawal itu merupakan bulan pernikahan
antara baginda Rasulullah dengan Aisyah. Bagaimana menurutmu dek Tasya? tanya
Zaky kepada Tasya yang sedang menahan isakan tangisannya. Saya ikut saja apa
keputusan keluarga saya, ucap Tasya dengan irama yang menyakinkan.
Penulis Nurhayati : Mahasiswa Jurusan Komunikasi
Unimal dan Santriwati Pasantren
Rauzhatul Ulumuddin Islamiah (RUDI) Meunasah Meucat, Kecamatan Nisam. Email: nurhayati.relations@gmail.com
Labels:
Cerpen
Thanks for reading Cerpen : Keshalehanku Menanti Rahmat-MU. Please share...!
0 Comment for "Cerpen : Keshalehanku Menanti Rahmat-MU"